29 April 2024
Memperkenalkan Kecerdasan Buatan di Kampus

Memperkenalkan Kecerdasan Buatan di Kampus

Memperkenalkan Kecerdasan Buatan di Kampus – Saya telah mendengar beberapa ceramah yang menyerukan agar dunia pendidikan merangkul kecerdasan buatan (AI). Bidang penggunaan spesifiknya tidak dijelaskan.

Memperkenalkan Kecerdasan Buatan di Kampus

Memperkenalkan Kecerdasan Buatan di Kampus

carisbrookehighschool – Pada kesempatan lain, pembicara lain dengan antusias menyampaikan bahwa kampus harus mengadopsi teknologi blockchain dan big data. Sekali lagi, tidak ada ilustrasi atau bukti konsep yang baik yang diberikan.

Bahkan ketika bidang lamaran disebutkan, para pembicara tidak memberikan gambaran lengkap. Fokus saja pada teknologinya. Meskipun teknologi tidak bisa diimplementasikan dalam ruang hampa. Masih banyak aspek lain yang perlu dipertimbangkan, termasuk konteks implementasi dan berbagai implikasinya.

Dalam sesi diskusi, rekan rektor universitas dengan bangga menyatakan bahwa kecerdasan buatan sudah digunakan di kampusnya. Yang satu menggunakan avatar untuk membuat video pendidikan dan yang lainnya menggunakan chatbot untuk menjawab pertanyaan penonton. Tentu saja, kedua contoh tersebut valid. Namun apakah ini satu-satunya batasan imajinasi kita? Banyak pertanyaan lain yang bisa ditanyakan.

 

Baca Juga : Penerapan Penting Kecerdasan Buatan dalam Pendidikan 

 

Merasakan probe

Pada gambar sederhana di atas, kita harus memperhatikan setidaknya dua hal. Tanpa kesadaran tersebut, warga kampus akan terperosok dalam jargon dan terlena tanpa konseptualisasi yang tepat.

Pertama, AI didefinisikan secara berbeda. Hal ini juga dapat diterima selama setiap definisi berlaku untuk kontennya. Tentu saja, untuk menyebutnya kecerdasan buatan, Anda tidak perlu memahami secara teknis cara kerja berbagai algoritmanya. Namun, memahami konsep dasar sangatlah penting. Mengapa? Agar kita tidak hanya terjerumus ke dalam cerita dan gagal menafsirkannya secara memadai.

Sebagai contoh sederhana. Saat ini yang paling populer adalah kecerdasan buatan generatif berbasis pembelajaran mesin (generative AI), yang mampu menghasilkan teks, video, gambar, dan jenis konten lainnya. AI jenis ini disebut generatif karena mampu menghasilkan “konten baru” yang belum pernah ada sebelumnya, dibandingkan melakukan tugas berdasarkan data yang sudah ada. Dalam konteks ini, informasi sebelumnya yang digunakan untuk pembelajaran mempengaruhi pendapatan yang dihasilkan oleh algoritma yang disematkan.

Kedua, tujuan kecerdasan buatan dalam pendidikan. Mengadopsinya hanya untuk mendapatkan legitimasi (semu)? Atau untuk tujuan yang lebih mulia: meningkatkan mutu administrasi, proses pendidikan atau obyek akademik? Meskipun penggunaan intelijen untuk mencapai legitimasi dapat dibenarkan, namun dampaknya tidak terlalu signifikan. Pendekatan ini seringkali mengabaikan berbagai efek samping, yang tidak selalu positif.

Kedua topik diatas berkaitan dengan kampus sebagai pengembang pengguna teknologi di kampus. Masalah ini juga berdampak pada teknologi canggih lainnya, termasuk blockchain dan big data.

Ini bukan tentang menerimanya, ini tentang mengukur maknanya. Ada yang berpendapat bahwa hal ini mungkin: lebih baik daripada tidak menerimanya sama sekali. Tentu saja pendapat seperti itu juga diperbolehkan. Namun dampaknya terhadap dunia pendidikan masih bisa diperdebatkan.

 

Baca Juga : Karakter Kecerdasan Buatan Tercanggih di Dunia Film

 

Unified Grey Practice

Di sisi lain, kenyamanan yang ditawarkan sebagai pengguna layanan bertenaga AI membuat banyak warga kampus melupakan dampak negatifnya. Misalnya menggunakan ChatGPT. Seringkali pembahasan lebih diwarnai oleh manfaat yang dibawanya. Namun hanya sedikit yang sadar dan memperhatikan sisi gelapnya.

Saat ini misalnya, mahasiswa dapat dengan mudah menggunakan ChatGPT untuk menyelesaikan berbagai tugas mata kuliah. Kalangan akademisi pun pasti kesulitan menyadari hal ini. Keputusasaan diperlakukan sebagai alasan: selama Anda tidak tertangkap, Anda baik-baik saja.

Dosennya juga sama. Mereka menggunakannya untuk membuat artikel, laporan atau proposal. Kelihatannya sangat bagus dan bermanfaat. Ditambah lagi hanya dengan biaya berlangganan yang super murah.

Kedua gambaran di atas merupakan praktik yang dapat menimbulkan diskusi etika yang berbeda. Jika karya tersebut memiliki aspek pendukung, praktik ini bisa masuk ke ranah sisi gelap, atau setidaknya abu-abu tua yang hampir melintasi garis merah. Tentu saja, diskusi panjang mengenai isu-isu etika dan kemungkinan bias yang mungkin terjadi dapat membuka diskusi tentang isu-isu tersebut.

Terbitan ini juga menarik perhatian banyak penerbit majalah terkenal dan lembaga hibah. Beberapa pedoman tertulis juga telah dibuat untuk menyoroti koridor etika.

Kepedulian yang Diharapkan

Untuk mengelola teknologi dengan lebih baik, sudah saatnya para pimpinan kampus dan warga Indonesia menaruh perhatian terhadap sisi gelap AI. Prinsip-prinsip dasar berikut dapat menghasilkan diskusi lebih lanjut.

Pertama, kami sepakat bahwa kemajuan teknologi, termasuk kecerdasan buatan, tidak dapat dihentikan. Teknologi canggih seperti ini harus dikelola dengan baik. Beberapa kampus mulai menawarkan program studi khusus terkait hal ini.

Kedua, harus dimunculkan kesadaran dialektis bahwa setiap teknologi selalu mempunyai dua sisi: positif dan negatif. Kedua permasalahan ini harus diatasi secara bersamaan. Jika tidak, mungkin sudah terlambat untuk mengambil tindakan perbaikan. Koridor etika harus diciptakan di sini, agar perkembangan teknologi tidak melupakan nilai-nilai kemanusiaan. Contohnya adalah mengeksploitasi orang lain dengan menggunakan teknologi.

Ketiga, penerapan AI harus fokus pada dampak yang berarti dalam dunia pendidikan, bukan sekadar tampil keren dan mendapat pujian. Penerapan teknologi ini tidak boleh diakibatkan oleh tekanan dari otoritas yang lebih tinggi atau sekadar mengikuti tren, namun karena kesadaran normatif yang timbul dari dampak signifikannya.

Terakhir, orang yang pesimis khawatir keberadaan kecerdasan buatan akan menggusur manusia. Namun berbeda di sini, bagi yang optimis kehadirannya justru dinilai bisa membebaskan masyarakat dari berbagai aktivitas yang menyita banyak waktu. Kesadaran akan permasalahan etika dapat menjadi mediator..